Translate

Senin, 07 April 2014

Belajar dari pengalaman?

Sungguh, kukatakan padamu sobat, sangatlah berharga untuk belajar dari pengalaman. Ya, benar sekali, Sangat Berharga. Begitu tinggi harganya karena pengalaman itu adalah pisau yang menorehkan luka pada memori kita. Pengalaman itu adalah noda tinta pada lembar putih hidup kita. Belajar dari pengalaman bukanlah sesuatu yang patut diistimewakan, seolah-olah itu adalah hal yang terbaik yang dapat kita lakukan. Namun belajar dari pengalaman justru sebuah keterpaksaan dimana tidak ada lagi pilihan pembelajaran yang lain. Pengalaman itu identik dengan pengorbanan, resiko, rasa sakit dan juga seringkali malu. Ini adalah ‘cara keras’ seseorang untuk belajar. Dan uniknya, entah itu sebuah anugrah atau kutukan, manusia adalah makhluk yang paling bebal untuk belajar. Sehingga sering dalam kehidupannya manusia harus menempuh ‘cara keras’ ini.
Lihatlah peradaban kemanusiaan. Bukan berbentuk segitiga terbalik yang seiring waktu berjalan semakin besar dan kaya oleh ilmu dan pengetahuan. Namun bentuk peradaban kita berjalan melingkar dengan lambat. Pada suatu saat kita akan kembali ke titik nol peradaban dimana segala hasil pencapaian musnah, ditinggalkan dan dilupakan, sehingga peraban harus dimulai dari awal kembali.
Tak mengherankan jika para kaum tercerahkan memberikan ungkapan ‘Sejarah itu Berulang’. Percayalah kawan, itu bukanlah kata-kata mutiara yang harus di torehkan dengan tinta emas diatas kanvas sutra dibingkai dengan perak lalu digantungkan di dinding sebagai hiasan. Tidak, ungkapan itu bukanlah pujian, bukan pula harta atau pun sebuah bentuk kekaguman. Ungkapan itu adalah ejekan, sebuah satir terhadap peradaban kemanusiaan yang berjalan lambat dan bebal terhadap sejarah masa lapau, peradaban masa silam. Manusia enggan untuk belajar kesaalahan-kesalahan yang diperbuat manusia-manusia yang mendahuluinya.
Tak jarang terpikir olehku, kita sebagai manusia memiliki tanggung jawab yang sering tak bias kita penuhi sebagai makhluk Allah yang paling sempurna. Takdir sebagai makhluk yang paling sempurna, yang memiliki sisi kejahatan dan kebaikan sekaligus dalam satu tubuh, berkontradiksi dan berusaha saling mengalahkan. Segala macam bentuk potensi yang ada didalam tubuh ini ; menghancurkan, membangun, mendidik, menelantarkan, memelihara, simpati, masa bodoh, dendam, memaafkan, dan lainnya, telah menjadikan makhluk yang demikian kecil ini selalu menjadi ajang perebutan dan pertempuran antara baik dan jahat. Sungguh kasihan menjadi seorang manusia, sekaligus sungguh mulianya menjadi seorang manusia.
Kompleksnya kemanusiaan itu bagi sebagian orang menganggapnya sebagai sebuah musibah besar, dan beranggapan bahwa penciptaan manusia tak lebih dari sebuah lelucon Tuhan. Namun tentu saja teman, ini mustahil. Karena bahkan sekecil apapun makhluk tidaklah pernah diciptakan oleh Allah untuk kesia-siaan. Manusia diberi tanggung jawab besar untuk menjadi pemimpin, yang berarti manusia diberi kemampuan untuk mampu menjalankannya. Kesempurnaan manusia sebenarnya temanku, terletak pada kemampuannya untuk mengolah, berpikir, menerapkan apa yang ada dipikirannya. Dalam singkat katanya, manusia sempurna karena manusia diberi kemampuan untuk belajar.
Namun ironisnya, segala kemampuan untuk maju selalu diimbangi oleh berbagai potensi negatif. Dalam hal belajar, manusia selalu dihantui oleh kemalasan. Malas untuk belajar, bahkan dari pengalaman yang begitu menyakitkan. Kemalasan akan menjadikan manusia pasif, tidak peduli dan pada akhirnya cenderung untuk melupakan. Melupakan segala bentuk kesalahan yang pernah dibuat, yang pada akhirnya kembali mengulang kesalahan tersebut di kemudian hari. Lihat temanku, inilah cikal bakal mengapa peradaban manusia itu berbentuk siklus melingkar yang lambat jalannya.
Kau tidak percaya temanku? Atau mungkin kau menganggap aku mengada-ada? Lihatlah peradaban kemanusiaan kita. Lihatlah betapa bodoh dan bebalnya kita. Kekeraskepalaan kita yang menghasilkan perulangan berbagai kesalahan. Peradaban kemanusiaan yang dipuji-puji bagi sebagian manusia, tak lebih dari sejarah berulang tentang pertumpahan darah, perebutan kekuasaan, saling menghancurkan, saling tipu, saling mengekploitasi, dan saling berselisih paham. Lihatlah peradaban-peradaban besar kemanusiaan yang pernah ada, keruntuhan pasti datang saat mereka mulai malas, melupakan, sombong dan mementingkan ego pribadi. Perumpaannya temanku, manusia itu adalah malaikat yang berilaku seperti iblis, atau mungkin iblis yang berwujud malaikat.
Namun temanku, untunglah tidak semua manusia berperilaku sedemikian negatif, yang bahkan membuat bumi yang kita pijak ini selalu sesak dengan tingkah pongah manusia. Ada sebagian temanku. Ya, sebahagian yang teramat kecil dari golongan manusia yang mampu mencapai pencerahan. Suluh terakhir penjaga manusia sebelum terjun kedalam jurang gelap kebinatangan. Merekalah yang terberkati, merekalah yang disinari oleh restu Ilahi. Mereka adalah golongan yang tercerahkan. Mereka disebut Nabi, Juru selamat, Rasul, Utusan Tuhan, dan banyak lagi sebutan bagi mereka. Merekalah temanku yang dengan pencarian mereka akan esensi kemanusiaan dan berusaha untuk kembali kepada Allah, menjadi Penjaga Peradaban. Ajaran-ajaran mereka, petuah-petuah mereka, ataupun Kitab Suci-Kitab Suci yang dititipkan kepada mereka, menjadi rumah bagi manusia-manusia yang telah tersesat dan mulai melupakan kemanusiaan mereka. Mereka menjadi panutan untuk memanusiakan kembali manusia.
Namun temanku, manusia tetaplah manusia. Memiliki potensi untuk menjadi baik atau menjadi jahat. Berubah menjadi iblis atau menjelma menjadi malaikat. Walau ada segolongan manusia yang mulai kembali kekemanusiaan mereka namun sebagian besar dari manusia lebih memilih untuk tetap berada dalam kebebalan dan kebodohan mereka. Maka sampai pada saat sekarang, temanku, manusia tebagi menjadi tiga golongan. Yang sayangnya 2 dari 3 golongan ini bukanlah temasuk golongan yang patut dibanggakan.
Golongan pertama, paling banyak jumlahnya namun amat disayangkan paling lemah kekuatannya. Inilah Golongan Awam. Awam bisa diartikan bodoh, bisa juga diartikan tidak tahu. Namun awam telah bergeser memiliki makna orang kebanyakan. Golongan ini bisa dibilang paling menderita, namun sebenarnya mereka jugalah penyebab penderitaan mereka sendiri. Mereka awam karena mereka tidak peduli, atau tidak mau mencari. Mereka banyak, seperti ternak. Bisa digiring, diarahkan, diancam, diekloitasi dan sebagainya. Didalam pemikiran kaum awam ini hanya ada satu arti kemanusiaan. Kemanusiaan berarti cukup makan. Beda tipis manusia dengan binatang memang terletak disini temanku. Bagi manusia, makan itu untuk hidup. Sementara binatang, hidup itu justru untuk makan. Setiap hari para kaum awam selalu disibukkan dengan urusan perut, urusan makan. Tak terpikirkan untuk meningkatkan kualitas dan mencari tahu apa arti kemanusiaan yang sesungguhnya. Bagi mereka, urusan makan itu sudah cukup, tak perlu ditambah urusan yang lainnya. Kuberitahu padamu temanku. Inilah golongan yang bahkan tidak bisa belajar dari pengalaman.
Golongan kedua, adalah golongan mereka yang memiliki kekuasaan. Yaitu para pemimpin. Kalau diibaratkan diantara 100 orang, hanya ada 1 orang yang mampu dan memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin ini. Oleh karena itu mereka tidaklah begitu banyak jumlahnya dibanding kaum awam. Namun celakanya, seharusnya mereka yang mengemban kepercayaan dari orang lain dan berusaha untuk kebaikan bersama, sibuk saling bersaing, saling jegal, saling menjatuhkan, saling tipu, bahkan saling berperang diantara sesama pemimpin. Dengan berbagai dalih yang sebenarnya bila dipikirkan tidak masuk akal, mereka menipu para kaum awam, menjadi alat mereka untuk menghancurkan pemimpin yang lain. Ibarat peternak, para pemimpin inilah yang menjadi penggembala yang memutuskan kearah manakah ternak mereka mau dibawa. Apakah ke padang rumput yang subur dan damai atau menuju jurang kematian. Tapi temanku, diantara banyaknya pemimpin, terdapat anomali-anomali, para pemimpin yang baik. Namun tentu saja, sejarah mencatat, kebanyakan dari anomali-anomali ini akan diberangus, dilumpuhkan dan dihancurkan oleh para pemimpin jahat.
Golongan ketiga, saudaraku, adalah golongan yang paling sedikit jumlahnya. Bila dihitung-hitung, hanya ada 1 diantara 1000 orang, atau mungkin 10.000, atau mungkin 1 jt? Inilah golongan yang tercerahkan. Golongan manusia yang benar-benar manusia. Mereka bukan sekedar ‘manusia’, tapi mereka adalah manusia yang sesungguhnya. Mereka bisa lahir di golongan awam, ataupun golongan pemimpin. Namun yang membedakan mereka dengan 2 golongan tadi adalah keinginan mereka untuk selalu belajar. Ya! Inilah pembeda mereka ! Mereka sadar bahwa belajar bukanlah harus dari pengalaman saja, karena itu adalah pembelajaran yang amat mahal dan sering kali menyakitkan. Mereka bisa belajar dari pengalaman orang lain, mereka bisa belajar dari imajinasi mereka sendiri, mereka bisa belajar dari pengandaian, mereka bisa belajar dari alam, mereka bisa belajar dari semesta. Merekalah yang mampu melihat ‘Pola’. Dan kukatakan padamu temanku, hidup kita adalah kumpulan pola-pola yang tersusun sedemikian halusnya. Bagi mereka yang dapat melihat pola tersebut, mereka akan dapat mengerti hakikat penciptaan manusia itu sendiri. Tak jarang, dalam usaha mereka menemukan pola-pola tersebut, Allah memberikan bantuan bimbingan, berupa kitab suci. Dan betapa beruntungnya mereka yang diberi kitab suci, sebab inilah tingkat tertinggi dikalangan kaum tercerahkan, inilah golongan yang Terpilih! Merekalah para nabi, mengajarkan kepada kita tentang kemanusiaan, tentang alam, tentang rasa, tentang larangan, tentang anjuran, bahkan tentang bagaimana berhubungan dengan Allah. Dan tentu saja teman, itu semua agar manusia kembali ke kemanusiaan mereka.
Namun teman, manusia adalah makhluk yang unik. Oleh karena itu pembagian yang kulakukan diatas bukanlah bersifat mutlak. Sebab seperti dirimu teman, masih banyak yang harus aku ketahui, masih panjang jalan yang harus ditempuh. Tapi ada satu yang pasti yang bisa kukatakan padamu, teman. Dengan mengetahui posisi kita, kita bisa tahu apa yang seharusnya kita lakukan selanjutnya untuk kembali menjadi manusia. Berhentilah menjadi orang awam, yang begitu mudah untuk digiring, digunakan dan pada akhirnya dikecewakan. Sudah saatnya kemanusiaan dikembalikan kepada manusia. Jangan pernah lagi manusia hanya dipandang sebagai alat, atau sebagai kesempatan. Karena bagaimanapun juga, ada satu kodrat manusia yang sering terlupakan oleh kita. Manusia tidak bisa hidup sendiri. Manusia adalah makhluk sosial yang kuat saat bersama namun lemah saat mereka terpisah. Jangan rusak hubungan sesama kita hanya untuk kepentingan sesaat.
Jadi, temanku. Setelah begitu panjang aku bercerita,  aku doaakan supaya dirimu, aku dan teman-teman kita yang lainnya bisa kembali mendapatkan kemanusiaan kembali. Peradaban ini sudah begitu bosan untuk melihat episode-episode berulang dari manusia. Sudah saatnya kita bersama membuat sejarah baru. Sejarah kemanusiaan yang baru, dimana manusia menang benar-benar manusia.